Sabtu, 17 Desember 2011

SBY Gembira Indonesia Raih Investment Grade

TEMPO Interaktif, Jakarta - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyambut baik hasil penilaian lembaga pemeringkat internasional Fitch Rating memasukkan Indonesia ke peringkat investasi paling mudah. Hasil ini diyakini akan berdampak baik bagi perekonomian Indonesia pada 2012 nanti.

"Dengan investment grade ini, akan mengalir modal dari internasional, jangka panjang dengan bunga rendah, dan sejumlah opportunity lain, dan berdampak pada bisnis. Ini momentum dan tidak boleh disia-siakan,"ujarnya dalam konferensi pers di kantornya, Komplek Istana Negara, Jakarta, Jumat 16 Desember 2011.

Menurut SBY, hasil Fitch Rating  menjadi penting mengingat Indonesia tak pernah lagi mendapatkan peringkat ini selama 14 tahun sejak mengalami awal krisis 1997-1998. Bahkan, karena dampak krisis global tersebut Indonesia dinyatakan default. Sejak itu Indonesia terus berusaha keras untuk memulihkan ekonomi dalam negeri. Akhirnya negara ini memperoleh hasil yang diakui dunia luar.

"Ini penting, kami tidak bisa klaim. Semua harus dengarkan apa yang dilihat dunia, yang dilihat lembaga internasional. Kami bersyukur, di tengah situasi ekonomi yang tidak menentu saat ini banyak negara yang diturunkan kredit ratingnya, Amerika Serikat, Eropa. Bahkan ada enam bank bertaraf global yang diturunkan peringkatnya. Kami gembira mendapatkan ini," ujarnya sambil tersenyum senang.

Berita baik ini, kata SBY, bukan tanpa pertimbangan yang matang dari Fitch. Ada beberapa landasan yang mendasarinya dan yang terpenting adalah pertumbuhan ekonomi yang kuat sebesar 6 persen. Lalu dihitung juga rasio utang terhadap GDP yang berada dibawah 25 persen.

"Kami juga ingin menjaga defisit anggaran dibawah 2,5 persen, bahkan mendekati nol sampai 2014 nanti, di tengah banyak negara yang karena ratio hutang terhadap GDP tinggi, colaps,"ujarnya.

"Juga dinilai secara umum perekonomian Indonesia memiliki prudent overall framework macro policy. Ini penting agar saat ada krisis tidak runtuh perekonomian kita, untuk wujudkan macro policy juga perlu prudent (hati-hati),"kata dia.

sumber :
http://id.berita.yahoo.com/

Sabtu, 08 Oktober 2011

Pupuk urea bersubsidi berubah warna jadi pink

Bengkulu (ANTARA News) - Pupuk urea bersubsidi mulai Oktober 2011 berubah warna dari putih menjadi pink guna mempermudah para petani mengenal pupuk itu.

Kepala Cabang PT Pusri Bengkulu, Lambang Santoso, di Bengkulu, Sabtu, mengatakan, pihaknya sudah mensosialisasikan perubahan pupuk urea bersubsidi dari putih ke pink kepada para distributor dan petani di daerah itu.

Menurut dia, hal ini dimaksudkan agar para distributor dan petani di Bengkulu mudah membedakan mana pupuk bersubsidi dan nonsubsidi di lapangan.

"Kalau selama ini petani sulit membedakan mana pupuk bersubsidi dan yang tidak, karena warnanya sama-sama putih. Tetapi, mulai Oktober ini pupuk urea bersubsidi sudah berubah menjadi pink," ujarnya.

Meski warga pupuk bersubsidi berubah dari putih menjadi pink, tapi kualitas tetap seperti biasa. Demikian pula harga tebus pupuk bersubsisi tetap sebesar Rp1.600/kg.

Demikian pula dengan pupuk urea non subsidi harganya tetap sebesar Rp4.000-Rp5.000/kg atau tergantung dengan mekanisme pasar. "Yang berubah hanya warna pupuk urea bersubsisi saja dari semula putih menjadi pink," ujarnya.

Lambang mengatakan sosialisasi perubahan warna pupuk urea bersubsidi ini akan dilaksanakan di seluruh kabupaten/kota di Bengkulu, sehingga masyarakat dan petani di daerah ini lebih cepat mengenal pupuk bersubsidi tersebut.

Sebab, kata dia, sebentar lagi petani di Bengkulu akan turun ke sawah untuk memulia masa tanam kedua tahun 2011, sehingga mereka dipastikan membutuhkan pupuk bersubsidi dalam jumlah besar.

Oleh karena itu, sosialisasi perubahan warna pupuk bersubsidi dari putih menjadi pink akan dipercepat di seluruh kabupaten/kota di Bengkulu, sehingga ketika mereka akan membeli pupuk tersebut tidak binggung lagi karena sudah mengetahui perubahan warga tersebut.

Provinsi Bengkulu pada 2011 mendapat jatah pupuk bersubsidi dari Kementerian Pertanian (Kementa) sebanyak 22.000 ton. Jatah pupuk bersubsidi sebanyak ini diperuntukan bagi petani di 10 kabupaten/kota di daerah tersebut.

Dari alokasi sebanyak itu, sampai Oktober sudah terserap oleh petani di Bengkulu sekitar 80 persen. Sedangkan sisanya diharapkan dapat diserap petani sampai akhir Desember mendatang, katanya. (ANT-212) 


http://www.antaranews.com/berita/278807/pupuk-urea-bersubsidi-berubah-warna-jadi-pink

Program kredit BNI patut ditiru

Jakarta (ANTARA News) - Program kredit BNI yang fokus pada industri unggulan dan industri potensial di sejumlah daerah mendapat dukungan sejumlah politisi DPR di Komisi XI DPR. Itu karena dianggap dapat mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas.

Dalam rapat dengar pendapat Komisi XI DPR RI dengan jajaran direksi BNI di Jakarta, Kamis, anggota Fraksi Partai Golkar, Nusron Wahid, sangat menghargai program kredit BNI yang sesuai visi dan misi pertumbuhan ekonomi Presiden Susilo Yudhoyono.

Visi dan misi itu untuk mendorong pertumbuhan ekonomi berkualitas dengan membiayai proyek-proyek komoditi unggulan di sejumlah daerah.

"Ini jarang dilakukan perbankan, apalagi bank swasta karena biasanya yang mereka kejar hanya bunga dan potensi keuntungan saja dari proyek apapun," kata Nusron.

"Ini harus kita rekomendasikan kepada Bank Indonesia agar semua bank bisa seperti ini," katanya.

Sementara itu anggota fraksi PDIP, Maruarar Sirait, mengatakan, sangat mendukung upaya BNI untuk mendorong industri-industri unggulan terutama di sektor minyak dan gas bumi yang selama ini kesulitan dalam mengembangkan produksinya.

"Ini harus diikuti dengan perekrutan tenaga-tenaga ahli di bidang migas sehingga pembiayaannya menjadi efektif untuk mendorong produksi migas kita," katanya.

Sebelumnya, Direktur Utama BNI, Gatot M Suwondo, mengatakan, pihaknya telah mengidentifikasi potensi usaha dan industri di seluruh wilayah Indonesia sebagai bagian strategi bisnis dan juga mendukung arah pembangunan ekonomi.

Oleh karena itu, katanya ,sejak beberapa waktu lalu BNI telah membentuk tim dan dipimpin oleh oleh ahli ekonomi regional di tiap kantor wilayah BNI.

Tim itu bertugas memetakan industri unggulan di masing-masing daerah, mengidentifikasi kota/daerah yang mengalami pertumbuhan lebih cepat, dan membantu atau menjadi mitra pemerintah daerah menyelaraskan arah pembangunan.

BNI telah menetapkan delapan sektor unggulan sebagai fokus bisnis, yaitu pertanian, komunikasi, kelistrikan, perdagangan besar dan eceran, migas dan pertambangan, konstruksi, makanan minuman termasuk rokok, dan bahan kimia/pupuk termasuk barang dari karet.

Industri unggulan di daerah-daerah yang telah diidentifikasi BNI antara lain adalah perdagangan dan perkebunan sawit- karet di Sumatera Utara, migas dan perkebunan sawit-karet di Riau, industri manufaktur di Kepulauan Riau, migas, pertambangan, dan perkebunan sawit-karet di Sumatera Selatan. (ANT)



http://www.antaranews.com/berita/278540/program-kredit-bni-patut-ditiru

Jumlah kemiskinan harus dapat diturunkan

Batulicin (ANTARA News) - Menteri Koordinator bidang Kesejahteraan Rakyat (Menkokesra), Agung Laksono, meminta para pipinan daerah dapat secepat mungkin menurunkan angka kemiskinan yang hingga saat ini masih melanda warga.

Permintaan itu disampaikan Agung Laksono pada saat melakukan kunjungan kerja sekaligus meninjau kondisi rumah sakit umum daerah, Amanah Husada, di Kabupaten Tanah Bumbu, Provinsi Kalimantan Selatan, Sabtu.

"Secara nasional penduduk miskin di Indonesia masih 12,5 peren. Tanah Bumbu yang memiliki sumber daya alam melimpah sudah sepatutnya dapat turut mengurangi jumlah kemiskinan tersebut," katanya.

Melihat kondisi rumah sakit yang SDM nya masih dianggap penuh dengan keterbatasan, Agung Laksono berharap adanya sumber dana yang lain baik dari APBD daerah maupun APBD provisi untuk upaya peningkatan pelayanan kesehatan secara maksimal melalui rumah sakit tersebut.

Alokasi APBD, menurut dia, harus benar-benar digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sehingga tidak banyak terpakai untuk kepentingan belanja pegawai.

Menurut Agung, beberapa faktor terpenting dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat adalah terciptanya pelayanan kesehatan dan layanan pendidikan secara baik dan bermutu.

Pendidikan tidak hanya diprogramkan secara gratis, tapi mutu yang diberikan juga hurus diperhatikan sesuai daya saing kemajuan teknologi yang berkembang di masyarakat, ujarnya.

"Beruntunglah Tanah Bumbu yang selama ini memiliki sumber daya alam melimpah berupa tambang batubara, perkebunan karet dan kelapa sawit. Sudah selayaknya potensi itu dikembangkan untuk kesejahteraan masyarakat seiring meningkatnya daya saing ilmu pendidikan," jelasnya.

Ia mengemukakan, dari sektor perkebunan potensi hasil yang diperoleh masyarakat dan pemerintah seharusnya tidak berupa kelapa sawit dan karet saja.

Lebih dari itu, menurut dia, potensi dari usaha lain berupa pabrik karet dan pabrik minyak kelapa sawit juga diharapkan mampu berkembang dimasyarakat guna menyerap tenaga kerja sekaligus mengurangi jumlah pengangguran yang ada.

"Termasuk kesehatan pelayanannya harus lebih meningkat. Jangan sampai Tanah Bumbu yang kaya sumber daya alam rumah sakitnya kurang memadai. Tentunya, semua itu harus didukung dengan sistem kepeminpinan pemerintah yang lebih baik," demikian Agung Laksono. (*)


http://www.antaranews.com/berita/278856/jumlah-kemiskinan-harus-dapat-diturunkan

Nesttle investasi di Indonesia 200 juta dolar AS

Jakarta (ANTARA News)- Sebuah perusahaan dari Swiss, Nesttle SA berencana akan melakukan investasi di Indonesia senilai 200 juta dolar Amerika Serikat (AS) untuk mendirikan pabrik kakao karena diprediksi pasarnya dalam beberapa tahun ke depan sangat besar.

Ketua Umum Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo), Zulhefi Sikumbang, kepada pers di Jakarta, Jumat, mengatakan bahwa rencana Nesttle untuk investasi di dalam negeri harus mendapat dukungan dari pemerintah, karena akan membuka lapangan kerja baru.

Apabila investor lainnya juga ingin investasi seperti yang dilakukan Nesttle, maka pasar kakao di dalam negeri akan tumbuh besar, katanya.

Menurut dia, pasar kakao di Indonesia akan tumbuh signifikan dengan masuknya sejumlah investor asing ke industri tersebut, selain pasar yang besar juga didukung oleh pertumbuhan ekonomi yang tinggi.

"Kami optimis industri kakao akan kembali berkembang, karena sejumlah produsen kakao di dalam negeri cenderung mati suri," ucapnya.

Ia menambahkan, Nesttle sebelumnya mendirikan pabrik kakao di Malaysia, namun pasarnya dinila kecil, sehingga sulit berkembang, karena itu berusaha untuk melebarkan sayapnya dengan masuk ke pasar Indonesia.

Produk kakao dari Malaysia pada umumnya diekspor ke Indonesia seperti Milo (susu bubuk coklat). Pasar kakao Indonesia yang besar itu menarik Nesttle untuk melakukan ekspansi usaha di Asia khususnya di Indonesia, karena jumlah penduduknya yang besar.

Meski saat ini produksi kakao Indonesia merosot hampir 50 persen, akibatnya banyak petani kakao yang mengalihkan kegiatannya ke karet dan kelapa sawit.

Kalau menanam kakao banyak menemui kesulitan karena banyak penyakit, apalagi saat ini iklim tak menentu, dibanding menanam karet, jagung dan kelapa sawit, tuturnya.

Karena itu, para petani harus mendapat penyuluhan dan pemerintah juga harus giat melakukan promosi agar investor asing lebih aktif melakukan ekspansi di pasar domestik.

Konsumsi kakao di dalam negeri sekitar 200.000 ton per tahun, namun kapasitas yang ada baru 170.000 ton, sehingga sisanya diperoleh dari impor.
(T.H-CS/S004)

http://www.antaranews.com/berita/278702/nesttle-investasi-di-indonesia-200-juta-dolar-as

BI: Berkaca dari Krisis 2008, Likuiditas Bank Diperkuat

JAKARTA - Meskipun cadangan devisa Indonesia turun sekira USD10 miliar, Bank Indonesia (BI) menegaskan hasil stress bank menunjukan perbankan Indonesia mengalami ketahanan yang kuat.

"Perbankan kita masih kuat untuk menghadapi krisis, likuiditas masih oke, NPL (risiko kredit macet) dan CAR (rasio kecukupan modal) masih aman, kredit juga terus tumbuh, jadi kondisinya beda dengan krisis 2008,” ungkap Juru Bicara Difi A Johansyah ketika ditemui di Gedung BI, Jalan MH Thamrin, Jakarta, Jumat (7/10/2011).

Menurut Difi, krisis yang terjadi sekarang sangat berbeda dengan yang terjadi di 2008 dan 2009 lalu. Pasalnya, saat itu, likuiditas perbankan di Indonesia tidak terjaga dengan baik sehingga harga Surat Utang Negara (SUN), dan suku bunga perbankan naik.

"2008, faktor eksternal buat terjadi outflow besar jadi harga SUN jatuh. Nah tanda-tanda krisis di 2008 ini belum terlihat sekarang," lanjutnya.

Belajar dari apa yang terjadi di 2008 tersebut, Bank Indonesia membuat stress test yang mengharuskan likuiditas perbankan nasional seperti Giro Wajib Minimum (GWM) harus melebihi kondisi saat krisis  "Bantalan likuiditas perbankan masih bagus dengan jumlah likuiditas masih memadai, jadi kita buat likuiditas perbankan lebih kuat,” tambahnya.

Sebelumnya, Deputi Gubernur Bidang Pengawasan Perbankan BI Halim Alamsyah juga pernah mengemukakan bahwa pihaknya telah melakukan stress test untuk melihat ketahanan perbankan Indonesia dalam mengahadapi krisis global dibuktikan dengan likuiditas, CAR dan pertumbuhan kreditnya. (wdi)

http://economy.okezone.com/read/2011/10/07/457/512260/bi-berkaca-dari-krisis-2008-likuiditas-bank-diperkuat

Bagaimana Memanfaatkan Devisa Hasil Ekspor?

Bank Indonesia (BI) telah menerbitkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 13/20/PBI/2011 tanggal 30 September 2011 tentang Penerimaan Hasil Devisa Ekspor dan Penarikan Devisa Utang Luar Negeri.

Bagaimana bank nasional memanfaatkan banjir devisa hasil ekspor itu? Menurut BI, potensi devisa yang berada di luar negeri mencapai USD31,5 miliar atau setara Rp274,522 triliun. Dana tersebut meliputi USD29 miliar dari devisa hasil ekspor dan USD2,5 miliar dari devisa penarikan utang luar negeri.

Dengan PBI ini, BI berharap seluruh devisa hasil ekspor dapat masuk ke bank nasional. PBI ini juga bertujuan untuk memelihara stabilitas keuangan di tengah kondisi yang tak menentu sebagai dampak krisis utang Amerika Serikat (AS) dan kawasan Eropa.

Pada 27 September 2011, pemerintah pernah menyatakan ekonomi Indonesia dalam status waspada segera setelah harga saham dan nilai tukar rupiah terjun bebas selama sepekan terakhir. Kini status waspada itu sudah dicabut.

Sebagai langkah antisipatif, Kementerian Keuangan sudah menyiapkan mekanisme operasi pasar yang ditopang bond stabilization fund (BSF) dan primary dealer.

BSF tersebut terdiri dari 13 badan usaha milik negara (BUMN) untuk ikut membeli kembali (buy back) surat berharga negara (SBN) ketika harganya anjlok. Primary dealer terdiri dari 18 bank dan empat perusahaan sekuritas BUMN.

Sayangnya anggaran untuk membeli kembali SBN hanya Rp3,12 triliun. Jumlah itu sangat kecil mengingat kepemilikan asing di SBN per 26 September 2011 telah mencapai Rp222,5 triliun.

Kiat Memanfaatkan Peluang
Kebijakan devisa ekspor itu pasti akan membawa berkah bagi bank nasional. Masalahnya, bagaimana bank nasional dapat memanfaatkan valas hasil devisa ekspor dengan jitu? Dengan melubernya devisa hasil ekspor, bank nasional dapat meningkatkan kredit valas.

Tampaknya, buahnya bakal manis. Namun, jangan lupa lebih dulu menghitung potensi risikonya mengingat saat ini nilai tukar rupiah terhadap dolar AS masih fluktuatif. Dengan bahasa lebih bening, sudah sepatutnya kredit valas disalurkan kepada perusahaan yang sudah jelas berbasis ekspor ke luar negeri.

Sarinya, menjadi tidak pada tempatnya sekiranya kredit valas justru mengalir ke perusahaan berbasis rupiah. Hal ini akan mengakibatkan ketidaksesuaian (mismatch) pada sumber pendanaan dalam pengembalian utang. Ini sungguh berisiko tinggi dipandang dari sudut manajemen risiko kredit.

Selain itu, tumpahnya valas juga dapat dimanfaatkan untuk membiayai transaksi trade finance (ekspor, impor, bank garansi). Kelebihan valas akan lebih manjur untuk kredit ekspor dan atau membiayai letter of credit (L/C).

Sebagai contoh, bank nasional dapat memberikan fasilitas pembiayaan untuk melunasi kewajiban L/C untuk pembelian bahan baku atau suku cadang untuk kemudian diekspor kembali ke luar negeri.

Hal ini amat diperlukan bagi pelaku usaha menengah, kecil dan mikro (UMKM) yang dianggap sebagai eksportir lemah dari segi kemampuan finansial. Satu lagi. Bank nasional dapat memberikan fasilitas standby L/C (SBLC). Dengan bahasa lebih lugas, bank nasional akan bertindak sebagai bank penerbit L/C (issuing bank) untuk menjamin beneficiary (importir) kalau applicant (eksportir) melakukan wanprestasi atas kontrak jual beli.

Bukan hanya itu. Bank nasional pun dapat memanfaatkan ekses likuiditas valas dengan memberikan fasilitas kepada pelaku UMKM untuk mengambil alih tagihan ekspor secara diskonto dengan hak regres (with recourse). Pembiayaan semacam ini akan memungkinkan pelaku UMKM sebagai eksportir untuk mendapatkan pembayaran lebih cepat atas tagihan ekspor yang belum jatuh tempo.

Untuk mitigasi risiko dalam transaksi trade finance, bank nasional dapat memanfaatkan trade processing centre (TPC). TPC berada di kantor perwakilan atau kantor pusat yang berwenang untuk memverifikasi dokumen L/C yang selama ini dilakukan kantor cabang.

Lalu apa tugas kantor cabang? Kantor cabang meneliti kebenaran dan keaslian dokumen L/C segera setelah menerimanya dari nasabah. Setelah itu, kantor cabang mengirim dokumen itu melalui media elektronik ke TPC. Verifikasi dokumen L/C oleh TPC merupakan salah satu langkah strategis untuk menepis potensi risiko L/C tak terbayar (unpaid) ketika importir tak mampu memenuhi kewajibannya dan kecurangan (fraud).

Kok bisa? Karena TPC dilarang kontak dengan nasabah. Di samping itu,TPC mampu memberikan jaminan keseragaman ketepatan dalam melakukan verifikasi dokumen L/C. TPC pada umumnya dimiliki bank nasional papan atas. Nah, bank nasional lainnya dapat bekerja sama dengan bank pemilik TPC untuk mitigasi risiko sehingga aman.

Namun, sejatinya terdapat potensi risiko orang ketika terjadi rotasi petugas TPC ke unit lainnya. Untuk itu, petugas lama wajib mendampingi petugas baru sampai mahir dalam memverifikasi dokumen L/C.

Tegasnya, bank nasional harus terus memperkaya kompetensi sumber daya manusia (job enrichment) dengan aneka pengetahuan dan ketentuan baru. Alhasil, berkah kian merekah dan risiko kian rendah.

PAUL SUTARYONO
Pengamat Perbankan & Alumnus MM-UGM
(Koran SI/Koran SI/ade)

http://economy.okezone.com/read/2011/10/06/279/511487/bagaimana-memanfaatkan-devisa-hasil-ekspor